"...Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.."
Pembukaan UUD 1945
"Bangun nak,sudah pagi", ujarnya.
"hmm emang sekarang udah jam berapa ?", tanyaku. Terdengar suara jawaban, "Sekarang sudah jam 06.00 pagi". "Apaaaa", teriakku kaget. karena udah jam segitu tapi aku belum melaksanakan sholat subuh.
Seketika aku langsung melompat dari ranjang tidurku, bergegas masuk ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Setelah itu kembali ke kamar dan menggelar sajadah untuk melaksanakan sholat dhuha. eh subuh maksudnya hehe.
Setelah selesai sholat subuh, aku berjalan menghampiri seorang pria berusia 54 tahun yang sedari tadi telah menungguku di ruang keluarga. Dengan perasaan yang kurang enak karena bangun kesiangan, aku mencoba mengajak beliau berbincang-bincang. "Yah, maaf ya baru bangun. Lain kali aku janji deh ga akan kesiangan lagi. Kemarin malam habis main sama temen sampe tengah malam".
"Kenapa minta maaf sama Ayah ? kamu harusnya meminta maaf sama Allah tuh yang kamu duakan dengan waktu tidurmu. Kamu udah bilang seperti ini berapa kali ya kalau dihitung-hitung", tanggapannya sambil tersenyum.
"Iya Ayah, ga akan kuulangi lagi deh besok. Janjiiiiii". ucapku dengan tangan berbentuk peace sambil melihat ayah. Seketika wajahku mulai terlihat seperti orang yang sedang malu karena sebenarnya sudah hampir 1 minggu aku ketinggalan sholat subuh di masjid. bahkan bangun jam 6 pagi keatas terus.
Setiap hari ayahlah yang menjadi alarm pagiku. Beliau selalu mencoba membangunkanku untuk berjamaah sholat subuh di masjid. Dengan usia yang sudah berkepala lima, namun masih rutin berjamaah subuh, bahkan sejak berusia 15 tahun. Dulu aku pernah bertanya apa yang membuatnya begitu bersemangat berjamaah subuh di masjid. Semangatnya seperti para pemuda/i ketika akan bertemu kekasihnya haha.
Aku mencoba menyelami peristiwa kala itu...
Ketika itu kami berdua tengah asik berlibur bersama ibu ke sebuah pantai yang ada di kota Trenggalek, Jawa Timur. "Ayah kenapa rajin amat sholat subuh ke masjidnya kaya ga pernah bolong sehari pun". Beliau tersenyum ketika aku bertanya, kemudian menjawab, "Anakku, jikalau kebanyakan penduduk bangsa ini hanya sibuk berlomba-lomba dengan urusan duniawi, pertanyaannya, apakah para penguasa penduduk bangsa ini akan memikirkan kemaslahatan umat bangsanya atau hanya memikirkan kepentingan pribadinya?"
Pertanyaan yang cukup mendalam bagiku. Aku mencoba memahai pertanyaan ayah yang sebenarnya beliau memintaku untuk merenungunginya, "Benar juga ya kata ayah. Terlalu banyak para penguasa negeri ini yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Sudah ada berapa kasus korupsi yang merajalela. Berapa banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk kepentingannya. Pantas saja negeri ini tidak merdeka sepenuhnya, berbanding terbalik dari pembukaan UUD 1945", gumamku.
Kemudian ketika itu aku mulai mengingat-ingat salah satu ayat yang ada pada Al-Qur'an. "Sekiranya para penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit, dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" Q.S. Al A'raf ayat 96.
"Kenapa diem aja. Mikirin siapa kamu? cie, ehmm", ledek ayahku. Beliau mengira aku sedang memikirkan salah satu teman perempuanku saat SMA. Sedang asik merenung peristiwa beberapa tahun lalu, tiba-tiba ayah bilang seperti itu. Dengan nada kesal aku menanggapi beliau, "Mikirin siapa yaa.. Rahasia dongg". dengan tampang ngeselin.
"Ya udah. ayah pergi dulu ya. Mau bertemu dengan temen-temen ayah untuk mempersiapkan pemilihan presiden bangsa ini. Tinggal beberapa hari lagi partai ayah harus segera mendaftarkan paslon (pasangan calon) pada KPU. Minta doanya ya supaya kebathilan yang sudah merajalela pada negerimu selama 55 tahun kebelakang ini segera kita akhiri", ujar ayah sembari meninggalkanku di ruang keluarga sendirian.
"Insyaa Allah yah bangsa ini segera memiliki pemimpin yang bertakwa dan mementingkan semua elemen bangsa ini, mulai dari mustad'afin dan fuqara. Aaaamiiiinnn", aku mengucapkan kalimat itu dengan semangat luar biasa. 5 hari lagi, ayahku akan maju dalam persaingan ketat melawan petahana pemerintah dalam ajang Pemilihan Presiden 2074.
Pada tahun 2074 ini maksiat sudah merajalela dimana-mana. Ustadz-ustadz dipenjara dan masjid banyak yang disegel kepolisian karena dianggap radikal. Seketika aku termenung, "Bagaimana ceritanya para penduduk bangsa ini 55 tahun yang lalu mampu terbuai dengan janji manis para tikus berdasi. Para pengkhianat yang berteriak paling NKRI. Sehingga mereka salah memilih sang pembawa narasi negeri ini".
Tak terasa butiran air jatuh membasahi kedua pipiku. Menangis karena pengkhianatan terhadap para ulama pendiri bangsa dan terkhusus untuk ayahku. Aku menangis karena ia korban dari salah satu anak pembela kebenaran pada zaman itu. Namun kini, ia harus bertempur bersama segelintir orang melawan para penghianat bangsa yang memakai topeng bertuliskan Aku Pancasila.
Bersambung..